Artikel Hangat

Mempersoalkan Belajar Agama Otodidak

Salah satu ciri utama ilmu syar’i dalam Agama Islam adalah diambil dari guru, ustadz, syaikh dan semisalnya.

Jika setiap orang hari ini sangat mudah mendapatkan berbagai jenis pengetahuan melalui video tutorial atau tulisan di website, maka pengetahuan umum tidak dapat disamakan dengan belajar agama, maksudnya seorang yang menuntut ilmu syar’i.

Dalam mukaddimah Shahih Muslim disebutkan bahwa Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata:

 “Sanad adalah bagian dari agama, karena jika dikatakan: dari siapa? maka ia pasti bingung”. Karena dia tidak menemukan jawaban.

Dahulu tidak satupun ahli fikih dan ahli hadits melainkan telah mewariskan fikih, hadits, tafsir dan lainnya dari guru-guru mereka. Ilmu bermuara pada dua bidang yaitu fikih dan hadits. Yang pertama adalah nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, kemudian fikih yaitu pemahaman darinya. Selain itu, ilmu-ilmu seperti ushul dan lainnya kembali pada keduanya.

Ketika pelajar memulai perjalanannya mencari ilmu syar’i, dibutuhkan seorang guru pembimbing yang menentukan arahnya, guru yang memiliki warisan peta rute dan rambu-rambu petunjuk arah yang sangat dibutuhkan oleh pelajar yang belum tahu hendak ke mana menuju. Jika ini menjadi suatu hal yang mudah difahami, maka ilmu syar’i bukanlah ilmu yang mengajarkan manusia menentukan sikap untuk dipetik hasilnya di dunia saja, namun juga di akhirat dan lebih dari itu. Ilmu syar’i adalah mengajarkan bagaimana seorang memiliki keyakinan yang lurus, beribadah dengan benar, berperilaku mulia, dan berinteraksi sesama mereka dengan baik.

Ketika manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai panutan, maka saat itu mereka tidak lagi bersandar pada ilmu, dan sudah dapat ditebak apa hasilnya dan bagaimana langkah yang benar.

Rasulullah menjelaskan bahwa di akhir zaman pena akan tersebar, semua orang menulis, dan banyak para pembaca namun sedikit orang fakih. Saat itu orang-orang masih belajar dan Al-Qur’an masih ada karena akan diangkat saat tiba hari kiamat, kitab-kitab pun bertebaran di akhir zaman, tapi semuanya tidak dapat membuat ilmu bertahan dan ilmu tetap pergi. Mengapa? Karena ilmu saat itu tidak diambil dari guru.

Dahulu ada seorang syaikh mengatakan, “Aku bisa menyimak orang berbicara dalam sepuluh menit dan aku simpulkan apakah dia mengambil ilmunya dari guru ataukah dari kitab” maksudnya hal itu dapat diketahui melalui cara dan nada ketika ia berbicara.

Salah satu bentuk taufik Allah kepada hamba adalah Allah berikan kepadanya rizki berupa guru yang tepat.

Ayyub As-Sakhtiyani, salah satu guru Imam Malik penulis Al-Muwattha, berkata: “Salah satu nikmat Allah Azza wa Jalla kepada anak muda dan orang ajam yang masuk Islam adalah mendapatkan guru Ahlus Sunnah”.

Guru tersebut akan menunjukkan ilmu dan jalan yang benar dalam menuntut ilmu.

Ibnu Abdil Barr dalam kitab beliau Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi menyebutkan ucapan Ibnu Mas’ud:

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَخَذُوهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَشِرَارِهِمْ هَلَكُوْا

“Umat ini akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang yang tua, jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang muda dan orang-orang buruk maka mereka akan binasa”.

Yaitu orang-orang yang sudah tua dalam ilmu, usia, dan keutamaan serta kedudukan.

Jika seorang mengagungkan gurunya, itu adalah tanda dia mendapatkan taufik, Imam Malik berkata: “Aku tidak berfatwa sampai 70 orang bersurban di Masjid Nabawi memberi kesaksian padaku bahwa aku pantas untuk memberikan fatwa”.

Sebab, merekalah yang tahu hal itu, berkata Ibnu Nashiruddin: “Dan tidak ada orang yang memakai surban di zaman itu melainkan orang tersebut fakih”.

Tidak ada yang tahu kemampuan seseorang kecuali guru-guru mereka, jika mereka memujinya maka itulah saatnya, namun jika mereka melarangnya (dan mereka jujur) maka belum waktunya. Guru akan berkata: wahai anakku, kemampuanmu sudah dapat dibaca, maka jangan melampaui batas kemampuanmu. Guru akan tahu murid-murid yang dekat dengannya dan lama bermajelis padanya, mana yang pantas memberikan fatwa dan mana yang belum.

Kesimpulannya, belajar dari guru adalah dasar utama dalam agama dan menjadi suatu keharusan bagi siapapun yang memulai belajar ilmu syar’i. Sanad adalah bagian dari agama kita. Kita tidak belajar pada kertas dan buku, namun mencari ilmu dari ahlinya dan ia akan menunjukkan jalannya.

Cukup ini sebagai isyarat dalam pembahasan ini, karena tentu jika kita ingin membahas dengan terperinci tentu sangat banyak penjelasan para ulama baik yang mereka nasehatkan langsung kepada murid mereka maupun yang mereka tulis dalam kitab mereka.

Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid dalam buku tipis beliau namun sangat berbobot, Hilyah Thalibul Ilmi menerangkan dalam Fasal Kedua : Cara Belajar dan Talaqqi, pembahasan Talaqqi ilmu dari guru, beliau menyebutkan sejumlah alasan lemahnya argumentasi bahwa belajar tidak harus dengan guru. Dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarah Hilyah memberikan berbagai faidah menarik yang perlu ditelaah oleh seorang penuntut ilmu.

Syaikh Abdussalam As-Syuwai’ir menerangkan pembahasan ini dalam video berikut (dan tulisan ini banyak mengambil faidah dari penjelasan beliau):

https://youtu.be/6roQkj1CL-M

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Penerjemah : Fida’ Munadzir Abdul Lathif ( Mahasiswa Fakultas Syari’ah LIPIA Jakarta)

Tentang Fadhil

LIPIA Jakarta

Check Also

Untuk penyeru kepada Tauhid

Untuk penyeru kepada Tauhid Bagian 2 dari nasihat Syaikh Shalih Sindi -hafidzahullah- Jadilah hakiim Dalam …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Send this to a friend