Pendapat Pertama:
Dikerjakan dua rakaat (sama halnya Shalat Ied yang dikerjakan dua rakaat), tetapi tanpa khutbah, karena seperti qadha (mengganti).
Pendapat ini dipilih oleh:
Sejumlah masyaikh : Mufti Saudi Abdul Aziz Alu Syaikh, Abdurrahman Al-Barrak, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Ar-Rajihi, Abdul Karim Al-Khudhair, Abdul Muhsin Az-Zamil, Khalid Al-Musyaiqih, Sulaiman Al-Majid, Khalid Al-Mushlih, Ahmad Al-Qu’aimi, Sa’ad Al-Khatslan, Abdullah As-Sulami, Abdus Salam As-Sulaiman.
Juga ditetapkan oleh Hai’ah Kibar Ulama Al-Azhar, Darul Ifta di Yordania, Lajnah Al-Wizariyah Lil Fatwa di Aljazair, dan Wizaratul Auqaf Al-Kuwaitiyah.
Pendapat Kedua:
Dikerjakan dua rakaat (sama halnya Shalat Ied yang dikerjakan dua rakaat) kemudian ada khutbah, karena mengerjakannya langsung (bukan qadha).
Pendapat ini dipilih sejumlah masyaikh : Abdul Muhsin Al-Muthairi (Kuwait), Dziyab Al-Ghamidi, Abdus Salam As-Syuwai’ir, Abdurrahman As-Sahli.
Pendapat Ketiga:
Dikerjakan empat rakaat.
Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Ahmad Khalil.
Pendapat Keempat:
Tidak mengerjakan shalat, karena ada uzur mengerjakan shalat tersebut di lapangan atau masjid jami’, sehingga gugur.
Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdullah Al-Khunain (anggota Hai’ah Kibar Ulama Saudi).
Pendapat yang lebih kuat : Pendapat pertama, karena dalil dan ta’lil nya kuat, dan banyak yang memilihnya serta kedudukan mereka.
Ditulis oleh : Yasir bin Abdul Aziz At-Tsumairi
Keterangan : Perbedaan pendapat dalam masalah fikih semacam ini wajar, karena tidak ada nash yang qath’i dan masing-masing berijtihad sesuai dalil yang nampak bagi mereka, adapun yang belum mencapai derajat ijtihad maka kewajibannya adalah mengikuti ulama yang ia percaya. Wallahu a’lam.