Artikel Hangat

Peran Ushul Fiqh Dalam Meluruskan Akidah

Kita sering mendengar bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu akidah atau lebih tepat lagi ilmu kalam, karena tidak sedikit ilmu kalam yang masuk dalam ilmu ushul fikih. Kita tahu ilmu kalam pun tidak lepas dari banyak perbincangan di kalangan ulama tentang bahayanya, karena merusak akidah dan lain sebagainya. Dari sisi ini kita memandang bahwa ushul fikih adalah ilmu yang bisa membuat orang akidahnya menyimpang.

Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa di sisi lain ilmu ushul fikih memiliki peran yang signifikan dalam membenahi dan meluruskan akidah. Jika kita memahami pernyataan sebelumnya, tentu kita bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Oleh karenanya, kita perlu membagi pembahasan ini kita bagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah agar kita mengetahui benarkan ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang memiliki hubungan erat dengan ilmu akidah? Setelah itu di bagian kedua kita akan mencermati bagaimana ilmu ushul fikih justru bisa digunakan sebagai sarana yang tepat dalam memperbaiki akidah:

Pertama: Benarkah ushul fikih adalah ilmu yang merusak akidah?

Perlu diketahui bahwa para ahli ushul dari kalangan Ahlus Sunnah sangat banyak dan karya mereka pun banyak, baik mereka tuangkan dalam kitab ushul fikih secara khusus atau mereka tuangkan di sela-sela kitab mereka dalam hadits, fikih, akidah maupun tafsir. Contohnya Raudhatun Nadzir karya Ibnu Qudamah, Qawathi’ Al-Adillah karya As-Sam’ani, Al-Musawwadah karya keluara Taimiyah, I’lam Al-Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim, Syarh Kaukabul Munir karya Ibnu Najjar Al-Futuhi dan lainnya. Bahkan kita semua tahu bahwa yang pertama kali menulis kitab dalam ushul fikih adalah Imam Syafi’i yang dikenal dengan Ar-Risalah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

“Pembahasan dalam ushul fikih dan pembagiannya kepada Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad serta pembahasan sisi pendalilan dalil-dalil syar’i pada suatu hukum adalah perkara yang sudah dikenal sejak zaman para sahabat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam dan para tabi’in serta para imam kaum muslimin, mereka dahulu lebih ahli dengan bidang ilmu ini dan bidang-bidang ilmu agama lainnya daripada orang setelah mereka.

Umar bin Khatthab pernah menulis surat kepada Syuraih yang berisi perintah hukumilah dengan kitabullah, jika tidak ada maka dengan sunnah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, jika tidak ada maka dengan ijma’, dalam lafadz lain dengan keputusan orang-orang shalih, jika tidak ada maka jika engkau mau berijtihadlah dengan pendapatmu. Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dan hadits Mu’adz adalah salah satu hadits yang paling terkenal di kalangan ulama ushul”. [Majmu’ Fatawa 20/401]

Ada sejumlah usaha yang dilakukan untuk melakukan pembenahan ushul fikih dari sejumlah penyimpangan akidah:

  1. Menyaring pembahasan ushul fikih secara khusus yang sesuai dengan ahlus-sunnah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Husain Al-Jaizani dalam kitab beliau “Ma’alim Fi Ushul Al-Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah” kitab ini memiliki mukaddimah yang sangat penting untuk ditelaah oleh siapapun yang ingin memulai belajar ushul fikih, sekalipun kitab sendiri ini jika dihitung sebagai kitab ushul fikih yang murni perlu pembahasan lebih lanjut.
  2. Menyaring pembahasan-pembahasan ushul fikih yang berhubungan antara ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, sehingga mudah diklasifikasikan pembahasan apa saja dalam ilmu ushul fikih yang ada hubungannya dengan ilmu akidah. Sebagaimana dalam sejumlah kitab berikut:
  3. Masa’il Ushul Ad-Din Al-Mabhutsah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Dr. Khalid Abdul Lathif

Kitab ini terdiri dari 4 jilid, disertasi doktoral yang dibimbing oleh Dr. Ali bin Nashir Faqihi dan Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi, diuji oleh Al-Allamah Abdullah Al-Ghudayyan (anggota hai’ah kibar ulama) dan Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.

  • Al-Masail Al-Musytarakah Baina Ushul Al-Fiqh wa Ushul Ad-Din, karya Dr. Muhammad Al-‘Arusi Abdul Qadir

Beliau banyak bersandar pada ucapan-ucapan syaikhul islam Ibnu Taimiyah.

  • Akhtha’ Al-Ushuliyyin fi Al-Aqidah, karya Abu Muhammad Shalih Al-Adani dan diberi pengantar oleh Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri

Kitab ini mengumpulkan sejumlah kesalahan akidah yang dilakukan oleh para ahli ushul fikih beserta bantahannya. Dibahas dalam kitab tersebut di antaranya: Bahaya ilmu kalam, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, pembagian agama menjadi ushul dan furu’, khilaf para ulama ushul dalam masalah kalam, khilaf ulama ushul tentang hukmah dan ta’lil, kesalahan ulama ushul yang tidak membedakan mahabbah dan iradah, dan seterusnya. Hanya saja kitab ini seharusnya ditulis oleh seorang yang mutakhashsis atau spesialis di bidang ushul fikih agar lebih kokoh.

3.Menyendirikan kitab ushul fikih pada sebagian kelompok, seperti ushul fikih menurut mu’tazilah. Sebagaimana dilakukan oleh Dr. Ali Ad-Dhuwaihi dalam kitab beliau yang berjudul “Aara’ Al-Mu’tazilah Al-Ushuliyah”.

Yang berhak membahas korelasi antara dua ilmu semacam ini adalah seorang yang menguasai dua ilmu tersebut dengan baik, dalam hal ini adalah ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, ia harus memahami metode keduanya, kitab-kitabnya, akidah-akidah penulisnya, istilah-istilah masing-masing bidang keilmuan tersebut dan seluk-beluknya. Karena jika tidak demikian, bisa saja ia tidak memahami istilah tertentu sehingga mendatangkan hal-hal yang aneh, membuat ungkapan-ungkapan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, menempatkan kalam para ulama ushul bukan pada tempatnya dan hal-hal lain yang tidak dikehendaki.

Terlebih, ushul fikih adalah ilmu yang luas dan tidak berada pada satu corak tertentu, bisa kita perhatikan Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhr Ar-Razi dan Al-Amidi, mereka semua ahli ushul fikih dari satu madzhab fikih yang sama, yaitu syafi’iyah, akan tetapi kita bisa menjumpai mereka banyak berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul fikih.

Kedua: Bagaimana ilmu ushul fikih bisa menjadi sarana dalam memperbaiki akidah?

Ini adalah faedah penting yang sudah terbukti dengan praktik nyata, yang menyimpulkan bahwa ilmu ini sebenarnya memiliki pengaruh positif yang besar dalam memperbaiki akidah, terlepas dari perkataan sebagian kalangan “Ilmu ini adalah produk orang-orang mu’tazilah” dan semisalnya yang membuat orang lari dari ilmu ini.

Akan tetapi sudah terbukti dengan sejumlah daurah yang diadakan oleh berbagai pihak dan berbagai macam lembaga, misalnya dari ha’iah khairiyah (lembaga sosial) maupun rabithah ‘alam islami atau dari pihak universitas-universitas tertentu.

Di antaranya adalah daurah musim panas yang diadakan di berbagai negara muslim yang di antaranya muslim menjadi minoritas, di tempat yang tersebar tasawuf, menjamur berbagai praktik kesyirikan, mereka memiliki kecintaan pada agama islam ini tetapi mereka terjerumus dalam berbagai kebid’ahan dan perbuatan yang menyimpang. Mereka mempunyai guru-guru yang menjadi rujukan dan pengagungan yang terkadang berlebihan. Jika kita hadapi mereka secara langsung, bisa jadi mereka langsung mengusir dan ini kerap terjadi dalam beberapa kasus, karena mereka menganggap pendatang tersebut ingin mengganti agama yang sudah mereka kenal sejak zaman dahulu.

Akan tetapi ketika kita ajarkan kaidah-kaidah umum dan kita arahkan mereka agar menghormati dalil, menyadarkan mereka agar menjadikan dalil sebagai rujukan, yaitu dalil-dalil yang wajib ditanyakan kepada siapapun yang berfatwa atau berbicara tentang suatu hukum. Dalil tentunya kita ketahui berupa Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, Ijma’ dan Qiyas.

Sehingga para pemuda yang belajar dalam daurah-daurah tersebut kemudian melontarkan sejumlah tanda tanya kepada guru-guru mereka, dan guru mereka pun bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, karena sebagian manusia jika sudah terbiasa dengan kebiasaan tertentu dalam waktu yang lama tidak pernah berhenti sejenak untuk berpikir “apakah yang saya lakukan ini ada dalilnya?”

Dari sisi lain, terkadang mereka menemukan permasalahan pada sebagian dalil, misalnya dalam hadits tertentu ternyata haditsnya lemah yang menjadikan tidak bisa diterima, atau penerapan qiyas padahal dalam masalah aqidah padahal tidak ada qiyas di sana karena tauqifi, atau terkadang mereka berdalil dengan hadits shahih tetapi mereka mentakwil dengan cara yang tidak benar dan tidak terpenuhi syarat takwil shahih. Ketika mereka menerapkan pelajaran-pelajaran ushul fikih ini, maka mereka dengan sendirinya memperbaiki kesalahan mereka dan lebih mudah menerima kebenaran setelahnya.

Maka, pernyataan bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang menjauhkan manusia dari ketundukan terhadap hukum-hukum syariat dan akidah perlu ditinjau ulang. Karena faktanya bisa membenahi dan mengokohkan akidah yang benar dan bagaimana mencapainya.

Faedah ini disampaikan oleh Dr. ‘Iyadh As-Sulami dalam cuplikan muhadharah beliau di sini:

https://youtu.be/UKjGSxlYPHA

Fida’ Munadzir Abdul Lathif

Tentang Fadhil

LIPIA Jakarta

Check Also

Untuk penyeru kepada Tauhid

Bagian 1 dari nasihat Syaikh Shalih Sindi -hafidzahullah- Dakwah kepada Tauhid adalah sebuah amalan mulia, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Send this to a friend