Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk kepada kita, hendaknya kita berkata baik, kalau tidak maka diam, karena ini adalah ciri seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
عن أبي هريرة -رضي اللّه عنه- عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرًا أو ليصمت.
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. [HR. Bukhāri 6475 dan Muslim 47]
Diam ada dua macam:
- Diam yang baik
Diam dari setiap yang Allah azza wa jalla haramkan dan larang, seperti ghibah, adu domba, berbicara kotor, mencela, berdusta dan lain sebagainya. Juga diam dari pembicaraan mubah tapi menjerumuskan seorang kepada pembicaraan yang batil.
Ibnu Abdil Barr berkata: “Diam yang baik hanya diam dari sesuatu yang batil”. [At-Tamhid 22/20]
Al-‘Aini berkata: “Diam yang mubah dan dianjurkan adalah ketika meninggalkan perkataan yang batil, begitupula perkataan mubah yang menyeret pada perkataan yang batil”. [Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhāri 16/291
2.Diam yang tidak baik
Diam dalam kondisi kita harus berbicara, misalnya ketika melihat kemungkaran, atau diam sehingga tidak dapat menyebarkan kebaikan dan diam yang berakibat menyembunyikan ilmu.
Para fuqaha berselisih pendapat tentang hukum diam, apakah hukumnya haram atau makruh? Yang benar adalah, jika diamnya lama, kemudian menyebabkan seorang meninggalkan kewajiban, maka diam tersebut hukumnya haram. [Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyah, Al-Ba’li 25/294]
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidak ada kebaikan pada diam dari ilmu, sebagaimana tidak ada kebaikan pada berbicara dengan kebodohan”. [Disebutkan oleh An-Naisaburi dalam Gharaib Al-Qur’an 1/227]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diam dari perkataan yang harus diucapkan adalah haram, baik ia jadikan sebagai suatu cara beragama atau tidak”. Beliau juga mengatakan: “Mengatakan kebaikan yang wajib atau mustahab adalah lebih baik daripada diam darinya”. [Majmu’ Fatawa 25/293-294]
Al-Baji mengatakan: “Diam dari kebaikan, dzikir kepada Allah azza wa jalla, dan amar makruf nahi mungkar bukanlah sesuatu yang diperintahkan, bahkan itu terlarang, baik larangan haram maupun makruh”. [Al-Muntaqa Syarh Al-Muwattha’7/242]
Berbicara dan diamlah pada tempatnya
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Berbicara tidaklah diperintahkan secara mutlak, diam juga demikian. Tetapi harus berbicara dengan baik dan diam dari keburukan. Para salaf dahulu sering memuji diam dari keburukan dan hal-hal yang tidak berguna, karena hal itu berat, banyak manusia yang terjatuh padanya, mereka mengoreksi diri mereka sendiri, dan berusaha diam dari hal-hal yang tidak berguna”. [Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam hlm. 341]
Syamsuddin As-Safarini rahimahullah berkata:
“Yang benar adalah lebih utama berbicara, karena termasuk at-tahliyah (menghiasi diri), sedangkan diam adalah termasuk at-takhliyah (membersihkan diri). Menghiasi diri lebih baik, terlebih orang yang berbicara mendapatkan kebaikan diam dan lebih, sebab puncak apa yang didapatkan oleh orang diam adalah keselamatan, dan ini didapatkan pula oleh orang yang berbicara kebaikan, ditambah lagi pahala kebaikannya”. [Ghidzaul Albab fi Syarh Mandhumah Al-Adab 1/74]
عن سماك بن حرب، قال: قلت لجابر بن سمرة: أكنت تجالس النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم، كان طويل الصمت، قليل الضحك، وكان أصحابه ربما تناشدوا عنده الشعر والشيء من أمورهم، فيضحكون، وربما يتبسم.