Beriman kepada takdir memiliki keterkaitan sangat erat dengan iman kepada Allah Rabb semesta alam. Beriman kepada takdir di bangun di atas keimanan yang benar tentang Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta nama dan sifat-Nya.
Iman kepada takdir adalah masalah keimanan seorang hamba kepada Rabb-nya.
Berikut adalah hikmah dan faedah beriman kepada takdir:
- Pasrah dan menerima setiap ketentuan qadha dan qadar Allah subhanahu wa ta’ala, juga tunduk dalam menjalankan syariat Allah, baik dalam mengerjakan perintah maupun meninggalkan larangan.
- Bersandar kepada Allah azza wa jalla dengan jujur. Karena jika hamba mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan qadha dan takdir Allah maka dia akan jujur dalam bersandar kepada-Nya.
- Ketenangan hati yang dipenuhi dengan keimanan, keimanan ini yang dapat mengusir setiap waswas yang bisa saja datang kapan saja.
- Ketenangan jiwa dan kebahagiaan.
- Ridha dan yakin dengan ganti.
Allah Ta’āla berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
(QS. At-Taghabun :11)
Ibnu Katsir berkata:
Yaitu siapa saja yang ditimpa musibah, lantas ia tahu bahwa itu semua berdasarkan ketentuan dan takdir Allah, lalu ia bersabar dan mengharapkan pahala serta menerima takdir Allah, maka Allah berikan petunjuk padanya, Allah ganti bagian dunia yang terluput darinya dengan petunjuk di hatinya dan keyakinan yang jujur, dan bisa jadi Allah menggantikan apa yang diambil darinya dengan yang sama atau lebih baik.
Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat “Siapapun yang beriman kepada Allah maka Allah berikan petunjuk di hatinya”, yaitu hatinya diberi petunjuk agar yakin dan mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpanya tidak akan meleset, dan apa tidak ditakdirkan maka tidak akan menimpanya.
Al-A’masy meriwayatkan dari Abu zhibyan, ia berkata: Kami pernah berada di sisi ‘Alqamah, lalu dibacakan ayat ini kepada beliau “Siapapun yang beriman kepada Allah maka Allah berikan petunjuk di hatinya”, lalu beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: Dia adalah seorang yang ditimpa musibah, lalu ia tahu bahwa itu berasal dari sisi Allah, sehingga ia pun ridha dan menerima. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim.
Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan menjelaskan ayat ini: Yaitu beristirja’ dengan mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Dalam hadits muttafaq alaihi:
عَجَبًا لِلْمُؤْمِنِ، لَا يَقْضِي اللَّهُ لَهُ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ، إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاء صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاء شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ
“Orang yang beriman itu menakjubkan, tidaklah Allah memberikan keputusan melainkan itu kebaikan baginya, jika ditimpa kesusahan maka ia bersabar sehingga itu baik baginya, dan jika ditimpa kesenangan maka ia bersyukur sehingga itu baik baginya, dan itu tidak akan terjadi pada siapapun kecuali orang yang beriman”.
[Tafsir Ibnu Katsir 8/137-138]
- Menahan seorang dari sifat bangga diri dengan amalannya, terutama saat ia mengerjakan amalan yang mulia; karena hakikatnya Allah Azza wa Jalla lah yang memberikan dan menakdirkan itu baginya. TakdirAllah sudah ada sebelum kebaikan tersebut terwujud.
- Tidak sedih atas apa yang menimpanya; karena semua yang menimpanya berasal dari sisi Rabb-nya Azza wa Jalla, bersumber dari rahmat dan hikmah. Juga tidak sedih atas apa yang terluput dari bagian dunia; karena jika memang tidak ditakdirkan maka seorang tidak perlu berambisi mendapatkannya, jika sedih atau meratapi maka justru tindakan tersebut tidak bijak.
- Manusia harus mengerjakan sebab jika memang ia beriman dengan hikmah Allah Azza wa Jalla, Allah tidak mentakdirkan segala sesuatu kecuali terkait dengan sebab-sebabnya.