Artikel Hangat

Antara karantina badan dan pemikiran (hajr)

Antara karantina badan dan pemikiran (hajr)
#Menguak_indahnya _Islam

Di hari-hari ini tentu kita menjadi faham dan melek betapa “hebatnya” petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bagaimana beliau mengajarkan cara membatasi ruang gerak penyebaran wabah penyakit menular yang kemudian diadopsi oleh kedokteran modern dengan konsep “karantina”.

Jika sedemikian besar perhatian Islam terhadap keselamatan badan (hifzhun nafs حفظ النفس),  maka perlu kita fahami dan syukuri bahwa Islam juga sangat memperhatikan keselamatan agama dan pemikiran seorang muslim.

Yang mana hal ini dalam ilmu maqoshid syariah disebut hifzhud din dan hifzhul ‘aql حفظ الدين وحفظ العقل

Bagaimana konsep syariat dalam menjaga agama dan pemikiran kita dari penyebaran “wabah pemikiran yang menyimpang”?

Jika dalam ilmu kedokteran, dikenal dengan 3 cara:
1. Penguatan kekebalan tubuh dari penyakit (sistem imun)

2. Penghentian penyebaran wabah dengan karantina

3. Pengobatan pasien yang sakit

Maka di dalam ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga ada dengan banyak hal:

1. Pendidikan akidah,  manhaj dan  tuntunan serta ilmu yang benar, di mana ini semua akan membentengi seorang muslim dari paparan “virus pemikiran menyimpang” sebagaimana sistem imun menjaga dari wabah penyakit.

Ini adalah bentuk penjagaan syariat dari sisi positif.حفظ من جانب الوجود min janibil wujud dalam istilah maqoshid syariah

2. Menghentikan penyebaran virus pemikiran menyimpang dengan melarang berinteraksi dengan orang berpemikiran menyimpang, yang dalam syariat konsep ini disebut dengan hajr (bukan menghajar orang ya)

Sebagaimana virus itu sulit terdeteksi dan tidak terlihat kasat mata awam, begitu pula kerancuan pemikiran atau syubhat tidak bisa atau sulit dideteksi oleh orang awam, bisa jadi seseorang tertular syubhat tanpa sadar.

Inilah syariat “hajr” yaitu isolasi orang berpemikiran menyimpang dengan melarang interaksi dengannya, sebagai wujud penjagaan dari sisi negatif.  Min janibil ‘adam من جانب العدم.

Imam Ibnu Qudamah Almaqdisi rahimahullah mengatakan
ومن السنة هجران أهل البدع ومباينتهم
Termasuk dalam ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam (Sunnah) adalah mengisolasi (hajr/hujron) ahli bid’ah

Beliau juga berkata
وترك النظر في كتب المبتدعة، والإصغاء إلى كلامهم.
(dan termasuk ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam (Sunnah) adalah) tidak membaca buku-buku ahli bid’ah, atau mendengar perkataan mereka.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga pernah bersabda tentang Dajjal (dimana dia adalah penyesat orang kelas berat)
(من سمع به فلينأ عنه، فوالله إن الرجل ليأتيه وهو يحسب أنه مؤمن فيتبعه، مما يبعث به من الشبهات)
Barangsiapa mendengar munculnya Dajjal maka menjauhlah darinya, karena -demi Allah- sungguh ada seorang laki-laki yang mendatanginya dalam keadaan dia yakin bahwa dia adalah seorang beriman lalu tiba-tiba dia jadi mengikuti Dajjal itu disebabkan syubhat-syubhat yang ia bawa dan sebarkan”.
Hadits riwayat Abu Dawud dalam sunannya no.4319, dishohihkan oleh Hakim dan Albani

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-utsaimin berkata, “Oleh karena itu menjauhi tempat-tempat yang sangat berpotensi menjerumuskan ke dalam kesesatan hukumnya wajib”.

3. Menetralisir syubhat dan kerancuan pemikiran serta membantah, mendebat dan “mengobati” orang berpemikiran menyimpang.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-utsaimin berkata,”Akan tetapi jika tujuan membaca buku-buku ahli bid’ah untuk mengetahui bid’ah mereka lalu membantahnya maka itu tidak mengapa”.

Apakah semua orang boleh melakukan hal ini? Siapa yang mampu dan berkompeten?
Sebagaimana kita tahu bahwa dokter dan dan tenaga medis yang merawat dan mengobati pasien Corona -contohnya- memakai Alat Perlindungan Diri dan SOP yang benar, begitu pula orang yang “mengobati” orang berpemikiran menyimpang, harus dokter yang mempunyai “imunitas”  dengan vaksin akidah yang benar, dan mempunyai “SOP” dan kemampuan untuk membantah mereka.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-utsaimin berkata, “Hal ini (boleh mendebat, membaca buku-buku ahli bid’ah) boleh bagi orang yang mempunyai akidah yang benar untuk membentengi dirinya, kemampuan untuk membantah mereka, bahkan kadang amalan ini (membaca buku-buku ahli bid’ah untuk membantah mereka) hukumnya wajib, karena suatu sarana menuju kewajiban apabila tidak bisa terlaksana kecuali dengan melakukannya maka ia hukumnya wajib”.

Disusun oleh: Ustadz Mardi, BA
Referensi: Penjelasan kitab Lum’atul I’tiqod  oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-utsaimin, cetakan Dar Ibnul Jauzi Mesir, halaman 96-97

Tentang Fadhil

LIPIA Jakarta

Check Also

MEMPERKUAT MUJAHADAH MELAWAN PENDORONG KEBURUKAN

Di antara khasiat mujahadah melawan hawa nafsu dan setan ialah terbentuknya antibodi untuk mendorong keduanya, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Send this to a friend